Pertama kali dikasi
undangan untuk menonton film Soegija, saya kurang tertarik karena saya tidak
familiar dengan sosok beliau, lalu ini
film apa ya? Apakah film mengenai agama ( Beliau adalah orang pribumi pertama
yang menjadi uskup di Indonesia). Tapi saya mendapatkan BBM dari seorang teman
saya mengenai film ini dan mengugah rasa ingin tahu saya seperti apakah film
ini? Plus, saya juga baru pertama kali mendatangi acara premier beginian..
Hahaha.. Jadi, ya hitung-hitung nambah pengalaman baru lah. There’s always the first time for everyting,
right?
29 Mei 2012, selasa.
Sudah janjian dengan Ci
Martha dan dede jam 8 untuk berangkat ke Epicentrum, Kuningan. Sebenarnya acara
premiernya cukup malam juga ya (undangan yang kami terima adalah pertunjukkan
di jam 21.00.), mengingat bahwa besok pagi kita semua harus ngantor. Dede
bahkan sudah minum kopi duluan supaya tidak ngantuk di tengah acara.
TIba di Epicentrum,
kami sampai harus bertanya 2 kali mengenai letak bioskop. Maklum belum pernah
sama sekali menikmati tontonan di sini, biasa kami kemari hanya untuk menikmati
kuliner saja. Ketika dalam perjalanan, saya melihat di halaman luar ada Ale dan
istrinya Nia Zulkarnaen. “ Wah bakal ada siapa lagi ya? Denger-denger sih
Megawati juga diundang nonton” Pikiran norak pengen ketemu artisnya mulai
kambuh.. hehehe
Ternyata malam itu,
saya tidak melihat banyak artis sih.. selain Yayang C. Noor, lalu ada sutradara
Hanung beserta istrinya Saskia dan yang pasti para pemain film Soegija donk.
Sangat disayangkan, ada
beberapa masalah teknis di awal acara :
1. Acara
terlambat beberapa menit. Di undangan sih tertulis pukul 21.00 tapi ternyata
kami tetap dibiarkan menunggu pintu dibuka ( kira-kira 20 menit).
2. Undangan
jelas tanpa nomor seat ( bukan seperti di karcis bioskop dunk), ditambah pula
dengan tidak adanya jalur antrian yang jelas. Sehingga ketika pintu dibuka,
semua orang berdesakan ingin segera masuk (baik dari arah kiri, kanan dan
tengah) . Ternyata ya, itu bioskop guedeeee banget (bioskop terbesar yang
pernah saya kunjungin, dan bakal jadi tempat nonton baru nih :D) jadi ga usah
kuatir dapat masalah tempat deh, saya yakin semua bisa dapat tempat yang enak.
Setelah mendapatkan
tempat duduk yang paling oke, akhirnya acara akan dimulai dengan majunya sang
sutradara, Garin Nugroho untuk menyampaikan beberapa kata sambutan dan
memperkenalkan para pemain utama. Kata-kata sambutan yang luar biasa, diakhiri
dengan kata-kata untuk mengajak membuat film mengenai agama masing-masing (
baik itu Hindu, Budha, Kristen, Islam, Katolik), tentang nilai-nilai yang
dipegang oleh pemimpin anda supaya orang lain tahu!. Jujur, saya tersentuh
dengan kata-kata itu, saya menjadi yakin bahwa film yang segera saya tonton
adalah film yang luar biasa, karena lahir dari seseorang yang memiliki
pandangan yang tidak sempit mengenai agama.
Film ini berlatar
belakang pada masa tahun 1940-1949. Masa krusial bangsa Indonesia pra
kemerdekaan hingga agresi Belanda ke-2. Film ini termasuk dalam kategori
kolosal, dengan total pemain 2.275 orang. Dan Multi bahasa jadinya, karena
tentara Belanda ya pakai bahasa Belanda, tentara Jepang ya pakai bahasa Jepang,
dan pasti penggunaan bahasa Jawa dan Indonesia juga.
Awalnya saya pikir film
ini akan lebih banyak membahas soal Soegija dan berlatar belakang sangat
katolik tapi saya salah besar. Ini film mengenai perjuangan para rakyat
Indonesia dalam kemerdekaan. Cerita ini mengenai Soegija dan orang-orang yang
disekitarnya, yang sama-sama sebagai rakyat Indonesia terlibat dan menjadi
korban perang. Namun juga, Garin Nugroho berhasil menceritakan juga di sisi
lain para penjajah, toh mereka juga sama-sama manusia dan punya perasaan.
Berikut ini adalah
beberapa adengan favorit saya :
1. Suzuki
sebagai komando pasukan Jepang yang sering makan soto di rumah makan Henky
Soelaiman , ketika mendengar suara musik diputar dan melihat Olga Lidya sedang mengajak anaknya ( Ling-ling)
berdansa. Disitu terlihat jelas kerinduan seorang ayah kepada anaknya yang
seumuran dengan Ling-ling, ketika Ling-ling dengan kepolosan seorang anak
kecil, mengulurkan tangannya untuk berdansa bersama.
Hal ini tentu berbeda ketika Suzuki di depan pasukannya,
harus bersikap kejam terhadap pasukan Belanda yang menolak mencium bendera
Jepang dan berakhir dengan kepala yang dipancung.
2. Cinta
yang ditolak karena kebangsaan. Kisah asmara seorang fotografer Belanda yang
disuruh meliput pelantikan Uskup Soegija, berkenalan dengan seorang wanita muda
bernama Mariyem (Wanita pejuang menurut saya karena ada adengan penyerangan
rumah sakit, dan dia dengan kata-kata dan sikap tegasnya melindungi pasiennya
dan tidak takut walau diancam oleh para tentara bersenjata itu). Sang fotografer
digambarkan sebagai sosok orang Belanda yang baik, namun cintanya tetap di
tolak Mariyem yang menganggap semua orang Belanda adalah Jahat, apalagi setelah
kabar kematian sang kakak yang telah lama dicari-cari oleh Mariyem
3. Tentu
saja sosok Monsinyur (Mgr). Albertus Soegijapranata sendiri , seorang pahlawan
nasional karena berhasil membuat pengakuan internasional dari Vatikan atas
kemerdekaan Indonesia dan juga figur yang patut dicontoh oleh para pemimpin
masa sekarang.
-
Ketika tentara Jepang melakukan sweeping terhadap
smua orang Belanda di gereja. Mgr. Soegija
hanya berkata , “Terkadang, kita tidak bisa melakukan apa-apa” lalu adengan
dilanjutkan dengan Mgr. Soegija meneteskan air mata. ( Saya jadi berpikir,
apakah pemimpin sekarang pernah menangis untuk rakyatnya, atas ketidakadilan
yang ada, atas penindasan kepada mereka???)
-
Ketika seseorang melaporkan rakyat kelaparan,
dan ada bantuan makanan yang diterima Mgr. Soegija menjawab, “Bagikan kepada
rakyat dulu. Jika ada makanan, biar imam yang terakhir merasa kenyang. Tapi
bila ada kelaparan, biar imam yang merasakan dahulu “ Berkorban banget kan??
-
Ini juga adegan dimana, rakyat diberikan tempat
di gereja sebagai tempat pengungsian, “Layani rakyat..layani rakyat.. jangan
layani saya !! “ sambil ketok meja.
4. Garin
disini juga tidak melupakan unsur komedi yang diwakili oleh peran Butet
Kartaredjasa dan juga ada satu orang penyiar radio, jadi kalau di gambarkan ke
masa sekarang tuh penyiar ibaratnya selalu kasi update kejadian yang terjadi
dan menjelaskan runtutan sejarah dari mulai pelantikan Mgr. Soegija, kedatangan
Jepang ke Indonesia pertama kali, serangan pearl habour, bom Nagasaki Hirosima,
sampai akhirnya kemerdekaan yang berdaulat untuk Republik Indonesia dan nge-tweet.. (si dede sampe kasi julukan
Mr. Eksis.. haha…).
Secara keselurahan,
saya harus bilang ini film terkeren yang pernah saya tonton. Dalam segi muatan
cerita, cinematography, nilai-nilai yang disampaikan dan saya sangat merekomen
untuk menonton film ini bersama anak-anak, biar mereka melihat bahwa
kemerdekaan bukan sekadar perayaan 17 Agustus-an yang diisi dengan perlombaan-perlombaan, tapi kemerdekaan kita
diraih dari pengorbanan semua rakyat Indonesia waktu itu, baik itu seorang
Uskup, seorang suster, seorang penyiar radio, maupun seorang anak remaja yang
buta huruf.
“ Film is a new book,
where you can WATCH and LEARN “ Hyu Erika



0 comments:
Post a Comment