Thursday, June 7, 2012

S O E G I J A


Pertama kali dikasi undangan untuk menonton film Soegija, saya kurang tertarik karena saya tidak familiar dengan sosok beliau, lalu  ini film apa ya? Apakah film mengenai agama ( Beliau adalah orang pribumi pertama yang menjadi uskup di Indonesia). Tapi saya mendapatkan BBM dari seorang teman saya mengenai film ini dan mengugah rasa ingin tahu saya seperti apakah film ini? Plus, saya juga baru pertama kali mendatangi acara premier beginian.. Hahaha.. Jadi, ya hitung-hitung nambah pengalaman baru lah. There’s always the first time for everyting, right?

29 Mei 2012, selasa.
Sudah janjian dengan Ci Martha dan dede jam 8 untuk berangkat ke Epicentrum, Kuningan. Sebenarnya acara premiernya cukup malam juga ya (undangan yang kami terima adalah pertunjukkan di jam 21.00.), mengingat bahwa besok pagi kita semua harus ngantor. Dede bahkan sudah minum kopi duluan supaya tidak ngantuk di tengah acara.

TIba di Epicentrum, kami sampai harus bertanya 2 kali mengenai letak bioskop. Maklum belum pernah sama sekali menikmati tontonan di sini, biasa kami kemari hanya untuk menikmati kuliner saja. Ketika dalam perjalanan, saya melihat di halaman luar ada Ale dan istrinya Nia Zulkarnaen. “ Wah bakal ada siapa lagi ya? Denger-denger sih Megawati juga diundang nonton” Pikiran norak pengen ketemu artisnya mulai kambuh.. hehehe
Ternyata malam itu, saya tidak melihat banyak artis sih.. selain Yayang C. Noor, lalu ada sutradara Hanung beserta istrinya Saskia dan yang pasti para pemain film Soegija donk.

Sangat disayangkan, ada beberapa masalah teknis di awal acara :
1.       Acara terlambat beberapa menit. Di undangan sih tertulis pukul 21.00 tapi ternyata kami tetap dibiarkan menunggu pintu dibuka ( kira-kira 20 menit).
2.       Undangan jelas tanpa nomor seat ( bukan seperti di karcis bioskop dunk), ditambah pula dengan tidak adanya jalur antrian yang jelas. Sehingga ketika pintu dibuka, semua orang berdesakan ingin segera masuk (baik dari arah kiri, kanan dan tengah) . Ternyata ya, itu bioskop guedeeee banget (bioskop terbesar yang pernah saya kunjungin, dan bakal jadi tempat nonton baru nih :D) jadi ga usah kuatir dapat masalah tempat deh, saya yakin semua bisa dapat tempat yang enak.

Setelah mendapatkan tempat duduk yang paling oke, akhirnya acara akan dimulai dengan majunya sang sutradara, Garin Nugroho untuk menyampaikan beberapa kata sambutan dan memperkenalkan para pemain utama. Kata-kata sambutan yang luar biasa, diakhiri dengan kata-kata untuk mengajak membuat film mengenai agama masing-masing ( baik itu Hindu, Budha, Kristen, Islam, Katolik), tentang nilai-nilai yang dipegang oleh pemimpin anda supaya orang lain tahu!. Jujur, saya tersentuh dengan kata-kata itu, saya menjadi yakin bahwa film yang segera saya tonton adalah film yang luar biasa, karena lahir dari seseorang yang memiliki pandangan yang tidak sempit mengenai agama.

Film ini berlatar belakang pada masa tahun 1940-1949. Masa krusial bangsa Indonesia pra kemerdekaan hingga agresi Belanda ke-2. Film ini termasuk dalam kategori kolosal, dengan total pemain 2.275 orang. Dan Multi bahasa jadinya, karena tentara Belanda ya pakai bahasa Belanda, tentara Jepang ya pakai bahasa Jepang, dan pasti penggunaan bahasa Jawa dan Indonesia juga.

Awalnya saya pikir film ini akan lebih banyak membahas soal Soegija dan berlatar belakang sangat katolik tapi saya salah besar. Ini film mengenai perjuangan para rakyat Indonesia dalam kemerdekaan. Cerita ini mengenai Soegija dan orang-orang yang disekitarnya, yang sama-sama sebagai rakyat Indonesia terlibat dan menjadi korban perang. Namun juga, Garin Nugroho berhasil menceritakan juga di sisi lain para penjajah, toh mereka juga sama-sama manusia dan punya perasaan.
 Berikut ini adalah beberapa adengan favorit saya :

    1. Suzuki sebagai komando pasukan Jepang yang sering makan soto di rumah makan Henky Soelaiman , ketika mendengar suara musik diputar dan melihat Olga Lidya  sedang mengajak anaknya ( Ling-ling) berdansa. Disitu terlihat jelas kerinduan seorang ayah kepada anaknya yang seumuran dengan Ling-ling, ketika Ling-ling dengan kepolosan seorang anak kecil, mengulurkan tangannya untuk berdansa bersama.
Hal ini tentu berbeda ketika Suzuki di depan pasukannya, harus bersikap kejam terhadap pasukan Belanda yang menolak mencium bendera Jepang dan berakhir dengan kepala yang dipancung.

2.       Cinta yang ditolak karena kebangsaan. Kisah asmara seorang fotografer Belanda yang disuruh meliput pelantikan Uskup Soegija, berkenalan dengan seorang wanita muda bernama Mariyem (Wanita pejuang menurut saya karena ada adengan penyerangan rumah sakit, dan dia dengan kata-kata dan sikap tegasnya melindungi pasiennya dan tidak takut walau diancam oleh para tentara bersenjata itu). Sang fotografer digambarkan sebagai sosok orang Belanda yang baik, namun cintanya tetap di tolak Mariyem yang menganggap semua orang Belanda adalah Jahat, apalagi setelah kabar kematian sang kakak yang telah lama dicari-cari oleh Mariyem

3.       Tentu saja sosok Monsinyur (Mgr). Albertus Soegijapranata sendiri , seorang pahlawan nasional karena berhasil membuat pengakuan internasional dari Vatikan atas kemerdekaan Indonesia dan juga figur yang patut dicontoh oleh para pemimpin masa sekarang.

-          Ketika tentara Jepang melakukan sweeping terhadap smua orang Belanda  di gereja. Mgr. Soegija hanya berkata , “Terkadang, kita tidak bisa melakukan apa-apa” lalu adengan dilanjutkan dengan Mgr. Soegija meneteskan air mata. ( Saya jadi berpikir, apakah pemimpin sekarang pernah menangis untuk rakyatnya, atas ketidakadilan yang ada, atas penindasan kepada mereka???)

-          Ketika seseorang melaporkan rakyat kelaparan, dan ada bantuan makanan yang diterima Mgr. Soegija menjawab, “Bagikan kepada rakyat dulu. Jika ada makanan, biar imam yang terakhir merasa kenyang. Tapi bila ada kelaparan, biar imam yang merasakan dahulu “ Berkorban banget kan??

-          Ini juga adegan dimana, rakyat diberikan tempat di gereja sebagai tempat pengungsian, “Layani rakyat..layani rakyat.. jangan layani saya !! “ sambil ketok meja.

4.       Garin disini juga tidak melupakan unsur komedi yang diwakili oleh peran Butet Kartaredjasa dan juga ada satu orang penyiar radio, jadi kalau di gambarkan ke masa sekarang tuh penyiar ibaratnya selalu kasi update kejadian yang terjadi dan menjelaskan runtutan sejarah dari mulai pelantikan Mgr. Soegija, kedatangan Jepang ke Indonesia pertama kali, serangan pearl habour, bom Nagasaki Hirosima, sampai akhirnya kemerdekaan yang berdaulat untuk Republik Indonesia  dan nge-tweet.. (si dede sampe kasi julukan Mr. Eksis.. haha…).

Secara keselurahan, saya harus bilang ini film terkeren yang pernah saya tonton. Dalam segi muatan cerita, cinematography, nilai-nilai yang disampaikan dan saya sangat merekomen untuk menonton film ini bersama anak-anak, biar mereka melihat bahwa kemerdekaan bukan sekadar perayaan 17 Agustus-an yang diisi dengan  perlombaan-perlombaan, tapi kemerdekaan kita diraih dari pengorbanan semua rakyat Indonesia waktu itu, baik itu seorang Uskup, seorang suster, seorang penyiar radio, maupun seorang anak remaja yang buta huruf.

“ Film is a new book, where you can WATCH and LEARN “ Hyu Erika




0 comments:

Post a Comment